Selasa, 15 Januari 2008

Air Liur Untuk Pupuk

Air Liur Untuk Pupuk..!!!!

Inovasi dalam bidang pupuk alami dan pestisida alami.

Ide dasarnya sederhana, mikrooraganisme dari mulut dikumpulkan (pagi-pagi air
kumur pertama dari 300 santri dikumpulkan) terus dibiakkan, terus disiramkan ke
kotoran ternak dan jerami untuk mempercepat penguraian biologis menjadi pupuk.

Manfaatkan Air Liur untuk Pertanian

Mengapa bingung dengan harga pupuk dan pestisida yang melangit?
Gunakan saja air liur, mujarab kok!
Setiap bangun tidur bau mulut kita pasti terasa tak sedap.
Tahukah Anda bahwa bau tak sedap itu sangat bermanfaat untuk dunia pertanian?

Itulah yang dikembangkan Fuad Affandi. Putra Ciwidey, Bandung ini berhasil
membuat karya inovatif berupa pupuk dan obat pemberantas hama tanaman dari bahan
dasar air liur. Uniknya, Fuad bukanlah seorang ahli bioteknologi atau lulusan
perguruan tinggi. Ia 'hanya' seorang kiai yang mengasuh 300 santri.

Awalnya, ia melihat melimpahnya kotoran sapi, kambing, dan ayam. Mang Haji
-demikian Fuad biasa dipanggil- berniat menjadikan kotoran ternak tadi menjadi
pupuk kandang. Agar menjadi pupuk alami yang baik, kotoran itu harus diperam
selama dua sampai empat bulan.

Fuad berpikir, bagaimana mempercepat proses penghancuran dan pembusukan kotoran
ternak tadi? Ternyata, bakteri penghancur yang ampuh justru ada di perut
manusia. "Buktinya, hari ini kita makan, besok keluar sudah busuk," ujar alumnus
Pesantren Lasem, Jawa Tengah ini.

Menurut penelitian Laboratorium Mikrobiologi Universitas Padjajaran, Bandung,
dalam air liur memang terdapat empat macam bakteri: Saccharomyces, Cellulomonas,
Lactobacillus, dan Rhizobium. Bakteri ini biasa hidup di lambung manusia.
Bagaimana mendapatkan bakteri itu?
Tak kurang akal. Kebiasaan makhluk renik itu, kalau tidak ada makanan masuk
dalam waktu cukup lama, mereka akan naik untuk menyantap sisa-sisa makanan yang
ada di dalam rongga mulut. Karena saat tidur tidak ada makanan yang masuk, saat
itulah banyak bakteri berkumpul di mulut.

Nah, Fuad lantas memerintahkan 300 santrinya membuang air kumur pertama dari
bangun tidur ke dalam kaleng yang telah disediakan di depan penginapan santri.
Mikroorganisme dalam air liur itu lalu dikembangbiakkan dengan menambahkan
molase (gula), dedak, dan pepaya ke dalamnya. Setelah beberapa hari, air liur
santri ternyata berubah menjadi cairan kental berwarna keruh, dengan bau wangi
seperti bau cokelat. Itu berarti bakteri dapat berkembang biak dengan subur.
Fuad lalu menyiramkan cairan bakteri itu ke kotoran ternak dan jerami yang
sedang diperam.

Hasilnya dahsyat. Hanya dalam tiga hari, kotoran ternak itu hancur dan busuk,
siap dipakai sebagai pupuk kandang. Penemuan Fuad ini diberi nama MFA
(Mikroorganisme Fermentasi Alami) --kadang diplesetkan menjadi Mikroorganisme
Fuad Affandi.

MFA berkasiat untuk mempercepat ketersediaan nutrisi tanaman, mengikat pupuk dan
unsur hara, serta mencegah erosi tanah. Semula, pupuk organik itu dipakai untuk
kalangan sendiri, kemudian menyebar dari mulut ke mulut para petani di
lingkungannya. Pada tahap selanjutnya, Mang Haji berhasil mengembangkan pupuk
kandang menjadi cairan yang dikemas dalam botol dan siap disemprotkan ke
tanaman.

Inovasi Fuad tak berhenti sampai MFA. Dia juga menciptakan tiga jenis pembasmi
hama tanaman yang diberi nama Innabat (Insektisida Nabati), Ciknabat (Cikur
Nabati), dan Sirnabat (Siki Sirsak Nabati).

Innabat adalah insektisida yang terbuat dari kacang babi dicampur bawang putih,
bawang merah, cabe rawit, dan temulawak. Semua bahan itu digiling menjadi satu
dan dicampur dengan air beras. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 14
hari sebelum disemprotkan ke tanaman. Ketika diuji, ramuan ini ampuh untuk
membasmi berbagai jenis ulat, ngengat, dan lalat yang sering menyerbu tanaman
sayuran.

Sedangkan Ciknabat, yang terbuat dari cikur (kencur) dicampur dengan bawang
putih, ampuh sebagai fungisida (pembasmi jamur tanaman). Selain membasmi jamur,
Ciknabat juga berfungsi ganda sebagai insektisida. Kencur dan bawang putih ini
tidak mematikan hama, tapi baunya membuat hama enggan mendekat.

Lain lagi dengan Sirnabat, yang terbuat dari gilingan biji sirsak, merupakan
formula paling keras yang dibuat Fuad. Ramuan ini disemprotkan jika Innabat dan
Ciknabat sudah tak mempan lagi mengusir hama.

Untuk memproduksi pupuk dan pestisida alami itu, Fuad mendirikan pabrik di
Garut, yang kini dikelola Tatang Sutresna, mantan santrinya. Permintaan tidak
cuma datang dari Bandung dan sekitarnya, melainkan dari luar pulau, seperti
Jambi, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Pesantren pertanian

Bila Fuad intensif mengembangkan pupuk dan pestisida alami, itu bukanlah aneh.
Memang sudah sejak lama kiai ini bersentuhan dengan dunia pertanian. Bahkan
pesantrennya, Al Ittifaq, yang berada di Desa Alam Endah Ciwidey, identik dengan
pesantren pertanian. Santrinya tidak
cuma memperdalam agama, juga belajar bercocok tanam. Hebatnya, beberapa
santrinya di kirim ke Jepang dan beberapa negara Eropa mengikuti pelatihan
agroindustri di sejumlah industri pertanian dan perkebunan, atas beaya Bank
Dunia dan Departemen Pertanian.

Saat pertama datang di Ciwidey, 40 km arah selatan Bandung, sekitar tahun 70-an,
Fuad terheran-heran. "Mengapa penduduknya miskin, padahal alamnya sangat subur?"
pikirnya dalam hati. Tampaknya, salah satu penyebab utama adalah tingkat
pendidikan yang rendah. Banyak anggota masyarakat tidak tamat SD. Kalaupun ada,
hanya bisa dihitung dengan jari. Terdorong oleh keinginan mengubah nasib
masyarakat, Fuad lantas mendirikan pesantren. Bermodal sebidang tanah dan
sedikit pengetahuan pertanian, Fuad kemudian juga mengajak beberapa warga
menanam sayuran buncis dan kentang. Hasilnya ternyata bagus.

Tentu saja keberhasilan ini mengundang minat banyak orang mengembangkan
agrobisnis. Setelah beberapa kali gagal menembus pasar swalayan, karena syarat
kualitas yang ketat, supermarket Hero akhirnya bersedia menerima sayuran Fuad.
Jalan menuju keberhasilan semakin lempang. Buktinya, kini Fuad setiap harinya
mampu memasok sayuran segar ke Jakarta sekitar 5 ton.

Jumlah tersebut untuk memenuhi beberapa super market, dengan perincian:
2 ton ke Hero, serta 3 ton untuk Makro, Ramayana, dan Gelael.

"Kalau ditanya omzet, alhamdulillah dalam sebulan kurang lebih tiga ratus enam
puluh jutaan," aku peraih penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden BJ
Habibie (1998) ini.

Kelebihan Dibanding pupuk dan pestisida kimiawi, buatan Fuad memiliki sejumlah
keunggulan.

Pertama, dari segi beaya, lebih murah. "Harga pestisida kimia Rp 50.000,
sedangkan produksi cuma Rp 15,000," tutur Apep,Wakil Ketua Pondok Pesantren Al
Iftifaq. Apep memberi gambaran, untuk luas 1 ha tanaman buncis petani harus
mengeluarkan beaya sebesar Rp 2 juta untuk membeli pestisida kimia/sintesis.
Kalau menggunakan pestisida alami, petani hanya mengeluarkan beaya Rp 100.000,
dengan luas lahan yang sama. "Hasilnya sama, per hektar sekitar 8 ton," ujarnya.

Kedua, menggunakan pupuk dan pestisida alami tentu lebih sehat, karena tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan maupun hasil produksinya.

Ketiga, harga sayurannya lebih tinggi, karena sayuran tampak lebih segar,
bersih, dan bebas dari zat-zat kimiawi.

Bukan berarti tanpa kendala. Menurut Apep, yang sulit justru mencari bahan
bakunya.

Misalnya, untuk membuat Innabat, sangat sulit mendapatkan kacang babi. Juga
untuk membuat Sirnabat, biji sirsaknya tidak gampang diperoleh. "Mungkin, kami
perlu mendatangi para penjual juice buah sirsak, atau para pembuat dodol
sirsak," kata Apep sambil terkekeh. Melejitnya harga pupuk dan pestisida kimia
sekarang ini, tentu peluang untuk kembali ke alami. "Pesanan memang naik
drastis. Saya optimis produksi kami akan dicari petani. Sekarang kapasitas
produksi kami bisa 30 ton/bulan," kata Awang Nawangsih, yang bersama suaminya,
Tatang Sutresna, diberi amanah mengembangkan MFA. Semoga. (ddg)



Tidak ada komentar: